Selasa, 25 Februari 2014
Selasa, 11 Februari 2014
Sebuah Cerita Imlek di Tahun Kuda
Sampai hari ini
seluruh etnis Tionghoa masih dalam suasana merayakan Tahun Baru Imlek.
Perayaan Imlek akan berakhir dengan digelarnya Cap Go Meh. Untuk saat
ini, etnis yang memiliki hubungan emosional dengan Negara Cina itu masih
dalam suasana bergembira. Di tengah suasana tersebut, saya memiliki
pengalaman menarik yang bisa dibagi dengan para pembaca. Kebetulan saya
tinggal di perumahaan yang mayoritas penghuninya etnis Tionghoa.
Pada
saat Imlek, sebagai tetangga saya merasa tidak enak bila tidak
melakukan silaturahmi dengan para tetangga. Karena saat Idulfitri,
mereka pun datang ke rumah untuk memberikan ucapan selamat Idulfitri.
Kali ini giliran mereka. Rasanya tidak etis bila tidak mengunjungi rumah
tetangga yang sedang merayakan Imlek di tahun Kuda Kayu ini. Pada hari
kedua Imlek, kebetulan kami ada waktu, saya dan suami mengunjungi
tetangga terdekat. Namanya Afo. Setiap kali lewat dia selalu melambai
agar saya dan suami mampir.
Begitu kami bertamu, bukan main senangnya Afo beserta seluruh keluarganya. Di atas meja tersedia aneka kue lapis, kue kering,
dan minuman. Tak ketinggalan kue keranjang. Suasana akrab mewarnai
setiap percakapan. Kami saling bercerita. Walau beda etnis dan agama,
namun yang menonjol adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Tidak ada
kecurigaan.
Semua larut dalam suasana
harmonis dan penuh keakraban. Usai dari rumah Pak Afo, kami berkunjung
ke rumah tetangga berikutnya. Namanya Khusen. Sayang,
Pak Khusen tidak ada di rumah. Hanya ada istri dan dua anaknya. Begitu
kami tiba, keluarga Khusen menyambut kami dengan penuh keakraban. Sama
seperti di rumah Pak Afo, di rumah Pak Khusen juga tersedia aneka kue
lapis, kue kering, minuman. Tinggal pilih sesuai selera. Kami dilayani
istri Khusen dan anaknya bernama Akiang. Saya tertarik dengan cerita
Akiang.
Ternyata, kami baru tahu bahwa tetangga itu seorang guru Bahasa Mandarin.
Dia mengajar di sekolah swasta ternama di Kota Pontianak. Saya
bertanya, apakah sama Bahasa Mandarin dengan bahasa yang biasa diucapkan
etnis Tionghoa di Pontianak? “Jelas beda. Bahasa Mandarin ibaratnya
bahasa nasional Cina. Sedangkan, bahasa yang kita ucapkan di Pontianak,
ibaratnya bahasa daerah. Saya saja belajar Bahasa Mandarin harus sekolah
di Cina,” jawab Akiang. Cerita sekolah ke Cina, menarik hati saya untuk
bertanya lebih lanjut.
Sebab, ketika
mendengar nama Cina, saya teringat dengan sebuah hadis nabi yang
artinya, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Zaman Rasulullah
saja, negeri Cina memang sudah terkenal. Kebetulan Akiang memang
leluhurnya Cina dan pernah belajar di negeri tirai bambu itu. Momen yang pas untuk bertanya lebih dalam. Coba
diceritakan bagaimana sampai bisa sekolah ke Cina? Akiang menceritakan,
dia sekolah ke Cina karena dapat beasiswa. Kurang lebih setahun dia
belajar Bahasa Mandarin di sana. “Selain dapat ilmu, bisa jalan-jalan,
kita juga dapat uang. Itu asyiknya belajar di Cina.
Pemerintahnya justru ngasih kita uang. Setiap orang luar
yang belajar ke Cina, mereka dikasih uang oleh pemerintah Cina.
Sementara rakyatnya sendiri justru tak dikasih uang,”ceritanya. Apa
perbedaan orang Cina di sana dengan kalian yang di Pontianak? Akiang
menjawab, jujur orang Cina memang pekerja keras. Dari pagi sampai sore
mereka bekerja. Mobilitas orang Cina di sana memang tinggi. Satu hal
menarik, rata-rata seorang istri di sana bekerja di luar. Suami dan
istri bekerja. Jarang ketemu istri yang seharian ngurusi rumah saja.
Mereka
umumnya bekerja. “Satu kebiasaan yang sudah lazim, ketika suami dan
istri bekerja di luar, siapa yang datang duluan di rumah, dialah yang
menyiapkan makan dan membereskan rumah. Kalau istri datang duluan,
dialah yang menyiapkan itu. Sebaliknya, ketika suami datang duluan, juga
harus demikian,” papar Akiang. Bagaimana dengan tradisi berdagang di
Cina? “Memang, pada umumnya orang Cina berdagang. Justru persaingan
dagang di sana sangat tinggi. Ada pengalaman ketika saya ingin membeli
baju.
Kalau kita di Pontianak, saat
membeli baju, sering dicoba dulu. Bila tidak jadi membeli, pedagangnya
tidak marah. Kalau di Cina, ketika kita sudah mencoba, itu harus dibeli.
Saat saya mencoba beberapa baju, kebetulan tidak ada yang cocok, lalu
saya kembalikan. Orang Cina itu bilang, kalau memang tidak membeli,
jangan dicoba dulu,” lanjut cerita Akiang. Apakah ada hal yang tidak
enak bila dibandingkan dengan di Pontianak? Hal paling tidak enak adalah
soal makan.
Terus terang, makanan di
Pontianak jauh lebih enak dari di Cina. Makanya, saat di Cina, yang
bikin selalu rindu pulang, soal masakan Pontianak. “Mungkin faktor lidah
kali ya. Selain soal makanan, soal kesopanan, orang kita jauh lebih
sopan. Saat saya dari Cina tiba di Jakarta, langsung ke sebuah hotel.
Ketika di hotel, saya ingin ke toilet. Di toilet saya ketemu OB yang
selalu bilang, Silakan Pak! Dengan wajah penuh senyum. Sepuluh kali kita
ketemu OB, sepuluh kali juga dia mempersilakan kita. Sementara di Cina,
kita tidak menemukan hal demikian,” ungkap Akiang. Asyik mendengarkan
cerita Akiang.
Sangat menarik. Bagi
saya, cerita tersebut bagian dari pengalaman berharga ketika hidup dalam
suasana Imlek. Satu yang patut diambil pelajaran, bertetangga tidak
boleh memandang agama, suku, ataupun golongan. Etnis Tionghoa juga
merasakan hal demikian. Agama merupakan keyakinan. Sementara tetangga
adalah persoalan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Rukun dan
damai itu indah.*(Sumiati/Ptk)
Pengalaman Adalah Guru Paling Berharga
Hidup berumah tangga itu
tidak selamanya manis dan indah. Pada akhirnya pengalaman juga yang akan
menjadi guru paling berharga yang bisa menuntun kita. Setiap pasangan
yang baru menikah perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Terkadang,
walaupun pacaran bertahun-tahun, belum bisa mengetahui seluruh kebiasaan
pasangannya. Setelah menikah, barulah seluruh sifat aslinya terlihat.
Banyak
hal terkadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapkan.
Hati-hati, hal tersebut bisa menjadi pemicu ketidakharmonisan berumah
tangga. Oleh karena itu, luruskan niat agar bisa menjadi keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah. Demikian nasehat pernikahan yang disampaikan
Drs. H. Hasan Gafar dalam acara walimatul urusy pasangan Assyifa Sekar
Arum putri Bapak Baskoro Effendy dan Romy Hernadi, Minggu (2/2/2014).
Lebih lanjut pensiunan Kementerian agama ini
menjelaskan, kata Rasulullah ada empat motif pernikahan. Dan janganlah
disalahgunakan, karena tidak akan mencapai kebahagiaan. Pertama, menikah
karena kekayaan. Berharap ingin numpang hidup. Maka tidak akan ada
keberkahan, Kedua, menikah karena anak bangsawan. Berharap ingin numpang
kehormatan. Maka dia akan terhina. Ketiga, menikah karena
kecantikannya. Berharap ingin dipuji dan disanjung. Maka itu tidak akan
abadi. Keempat, dinikahi seorg wanita itu, krn agama dan akhlaknya.
Maka
akan dimudahkan rezeki dan kecantikannya ditambah. Selanjutnya, setiap
pasangan suami istri juga harus mengetahui tugas dan kewajiban
masing-masing. Bukan hanya tahu, tapi mengamalkannya. “Rumah tangga
bahagia, bukan tidak pernah punya masalah atau berselisih paham. Tapi
bagaimana pasangan tersebut mampu segera menyelesaikannya. Rasulullah
saja pernah mengalami masalah rumah tangga. Apa lagi kita manusia,”
nasehatnya.
Arrijaalu qawwaamuuna
‘alannisaa’. Laki-laki itu pengayom/pelindung wanita. Bukan kepala
seperti di kantor, katanya. Kewajiban seorang suami bukan hanya memberi
nafkah. Tapi juga memberikan atau meringankan tugas istri. Rasulullah
pun pernah menambal pakaiannya sendiri. Itu adalah salah satu contoh
untuk meringankan tugas istri. Kewajiban suami tidak hanya memberi
nafkah, tapi juga kasih sayang.
Jangan menjadi suami yang ditakuti, tapi jadilah suami yang dihormati
dan dicintai. “Sebagai istri, jadilah wanita yang taat kepada Allah,
patuh kepada suami dan mampu menjaga harta suaminya.
Wanita yang baik adalah wanita yang menyenangkan suami kalau dipandang. Jadi, para istri, berhiaslah untuk suami. Karena di luar
sana banyak ‘barang’ bagus. Sehingga para suami tidak lagi melirik yang
lain,” kata tokoh muhammadiyah ini disambut gelak tawa hadirin.
Terakhir, berlomba-lombalah untuk melakukan kebaikan.
Jangan ada lagi sekat-sekat atau bagian pekerjaan suami atau istri.
Semua pekerjaan rumah tangga boleh dikerjakan bersama-sama.
Pasanganmu
adalah pakaian bagimu. Pakaian itu untuk menutup aurat atau aib. Juga
untuk memperindah. Artinya suami istri itu hendaknya saling
menutupi aib pasangannya. Istri tidak menceritakan aib suaminya.
Sebaliknya suami tidak menceritakan aib istrinya kepada orang lain.
“Pesan saya, bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika ada yang
belum dipahami. Usahakan bisa shalat malam.
Mudah-mudahan Allah menuntun ananda berdua dan kita semua,” pesannya kepada kedua mempelai. Acara akad nikah di Jalan Lombok nomor 21 Pontianak itu dipimpin langsung penghulu fungsional KUA Pontianak Selatan-Tenggara, Hariadi, SHI. Pembacaan doa dipimpin Ustaz Alfian Ba’bud. Dihadiri sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat Kalbar. Serta sejumlah undangan.*(Sumiati/Ptk)
Pembubaran Panitia Bimtek GPAI SD
Kegiatan Bimtek TOT Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Bagi Guru PAI SD se
Kota Pontianak memang sudah berakhir 10 Januari 2014 yang lalu. Namun
kepanitiaannya belum dibubarkan. Hal tersebut disebabkan karena
kesibukan seluruh panitia yang harus mengajar di tempat tugasnya
masing-masing. Pembubaran dan Evaluasi kegiatan direncanakan akan
dilaksanakn Sabtu, 1 Februari 2014.
Ketua
panitia Bimtek, H. Jenjem, S.Ag ketika ditemui Kamis (30/1/2014)
menyampaikan bahwa panitia Bimtek akan mengadakan acara syukuran
pembubaran panitia, sekaligus evaluasi kegiatan. Rencananya kegiatan
tersebut akan dilaksanakan Sabtu, 1 Februari 2014 pukul 10.30 WIB sampai selesai. Tempat di Café Alila, Jalan Sutan Syahrir, Pontianak.
“Acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kami bahwa seluruh rangkaian kegiatan Bimtek TOT Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Bagi Guru PAI SD se Kota Pontianak, yang dilaksanakan di Meeting Room
Dekopinwil Kalbar, Jalan Sutoyo Pontianak, 8-10 Januari 2014
berlangsung sukses. Kami sudah mengundang seluruh panitia bimtek melalui
SMS. Diharapkan semua panitia yang berjumlah 10 orang bisa hadir semua. Karena keberhasilan kepanitiaan ini merupakan kerja keras dan kerja cerdas semua panitia,” ujar Jenjem, yang juga ketua Kelompok Kerja Guru (KKG) PAI SD Kecamatan Pontianak Utara ini sembari menyampaikan undangan kepada pelaksana Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak.*(Sumiati/Ptk)
Meningkatkan Semangat Kerukunan Melalui Perayaan Imlek
Sebentar lagi saudara kita
dari etnis Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek 2565 yang jatuh pada
tanggal 31 Januari 2014. Sama seperti umat Islam ketika menyambut
Idulfitri, penuh suka dan kemeriahan. Mereka berbelanja membeli baju
baru, aneka kue, dan menghiasai rumah dengan berbagai pernak-pernik
imlek. Pasar menjadi ramai menjelang hari raya Imlek tersebut.
Secara
tidak langsung, saya bisa merasakan bagaimana senangnya saudara kita
dari etnis Tionghoa menyambut hari paling dinantikan itu. Sebelum tahun
2001, perayaan Imlek apalagi Cap Go Meh dilarang berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 14 tahun 1967. Pada waktu itu presidennya Soeharto. Oleh
presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, instruksi itu dicabut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2001.
Kemudian,
pada 9 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan Imlek sebagai
hari libur fakultatif (hanya bagi mereka yang merayakannya). Barulah
pada masa Presiden Megawati Soekarno Poetri meresmikan Imlek sebagai
Hari Besar Nasional pada 9
April 2002. Seluruh etnis Tionghoa menyambut gembira penetapan hari
tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana senangnya mereka.
Maklum
saja, sebelum Imlek ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional, sudah
menjadi rahasia umum kalau mereka banyak mengalami diskriminasi. Nama
mereka saja tidak boleh berbau etnis Tionghoa, melainkan harus
Indonesia. Sekarang, diskriminasi itu tidak ada lagi. Etnis Tionghoa
duduk sejajar bersama etnis lain yang ada di Indonesia.
Mereka
pun bebas mengekspresikan diri dalam merayakan Imlek yang nantinya
disusul dengan perayaan Cap Go Meh. Mereka bagian dari Indonesia,
sama-sama membangun negeri tercinta ini.
Saya jadi teringat, pada saat penetapan Imlek tersebut, saya ikut suami
bertugas di Kota Ngabang Kabupaten Landak. Waktu itu saya belum menjadi
pegawai Kementerian Agama. Saya bekerja di sebuah kantor swasta di kota
intan itu.
Di Kota Ngabang sendiri, etnis Tionghoa memang menguasai perdagangan (ekonomi). Hampir seluruh rumah toko (ruko) milik etnis Tionghoa. Mereka berdagang sembako, pakaian, elektronik,
makanan dan minuman, bahkan sayur-sayuran. Dominasi etnis Tionghoa di
pasar Ngabang sangat terasa. Saya yakin, bukan hanya di Ngabang, di
kota-kota besar yang ada di Kalbar juga demikian. Tibalah perayaan
Imlek. Bisa dikatakan, begitu presiden menetapkan Imlek sebagai Hari
Besar Nasional, saat itu juga saya menyaksikan bagaimana kegembiraan
saudara kita dari etnis Tionghoa di Ngabang. Imlek perdana bagi saya.
Mereka
larut dalam kegembiraan. Rumah dihiasi pernak-pernik Imlek. Lampu
lampion bersinar di malam hari. Barongsai meliuk-liuk di pasar. Begitu
juga naga (liong) menggeliat di pasar-pasar. Belum lagi petasan menambah
semaraknya Imlek. Tiba-tiba saya diajak suami untuk silaturrahmi atau
mengunjungi relasinya yang kebetulan banyak Tionghoa. Awalnya saya agak
ragu. Maklum saja, dari kecil saya dibesarkan di lingkungan etnis
Melayu. Saat sekolah dan kuliah hidup dalam komunitas Islam.
Kemeriahan
yang saya rasakan sebatas Idulfitri dan Iduladha. Sementara perayaan
Imlek maupun Natal hanya mendengar, namun tidak pernah bersilaturahmi
dengan penganut agama lain saat perayaan hari besar agama mereka.
Keraguan itu muncul terkait makanan yang dihidangkan. Agama saya
mengajarkan tidak boleh memakan sesuatu yang diragukan kehalalannya. Di
situlah masalahnya. Namun, suami saya terus membujuk. “Ayo kita main ke rumah Pak Akiang dan Pak Budi Santoso. Orangnya baik dan ramah,” ajak suami.
Pak
Akiang dan Budi Santoso merupakan tokoh Tionghoa di Ngabang. Saya
berusaha membuang keraguan itu. Lalu, kamipun bersilaturahmi ke rumah
tokoh Tionghoa tersebut. Subhanallah, kami disambut hangat dan ramah
oleh tuan rumah. Saya merasakan sebuah keharmonisan luar biasa.
Keakraban sebagai sesama bangsa Indonesia kian terasa. Kami dipersilakan
duduk dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Saya perhatikan,
hidangan makanan, kue, dan minuman persis seperti halnya orang Islam
merayakan Idulfitri.
Ada kue lapis,
kue kering, minuman ringan, dan sebagainya. Bedanya, ada kue
keranjangnya. Aneka makanan itu tinggal pilih sesuai selera. Saya tahu
makanan-makanan itu banyak dijual di pasar. Melihat itu semua, saya
berpikir, keraguaan soal tidak halal, jadi hilang. Dengan
bismillahirrahmanirrahim, minuman kaleng, kue kering dalam stoples saya
cicipi. Saya dan suamipun beserta shohibulbait terlibat dalam percakapan
yang akrab. Semenjak itu, ketika Imlek datang, secara tidak langsung
saya juga ikut merasakan kegembiraan.
Demikian
juga kalau Natal, saya juga bersilaturrahmi dengan kawan-kawan nasrani.
Sangat indah tinggal di Ngabang ketika itu. Suasana keharmonisan
antaretnis, antarumat beragama kian terasa. Damai itu memang indah.
Ngabang memang penuh dengan kenangan indah. Setiap ada perayaan
keagamaan, semua umat beragama yang ada di Ngabang memiliki semangat
toleransi dan kerukunan yang tinggi.
Ketika
Idulfitri tiba, umat dari Nasrani maupun konghucu akan mengunjungi.
Begitu sebaliknya, ketika Imlek, orang Islam maupun Nasrani akan
mengunjungi teman-temannya yang merayakan Imlek. Ketika Natal tiba,
teman-teman Muslim maupun Konghucu akan bersilaturahmi ke rumah yang
merayakan natal. Tidak ada keraguaan apalagi kecurigaan. Semua dilakukan
dengan tulus, semata ingin menjaga keharmonisan dan kerukunan. Sebuah
fakta, yang ada baiknya untuk dicontoh. Sekarang, saya sudah pindah dari
Ngabang dan tinggal di Kota Pontianak.
Semangat
tolerasi dan menjaga kerukunan itu masih tertanam. Kebetulan perumahan
tempat kami tinggal didominasi etnis Tionghoa. Setiap Imlek saya dan
keluarga selalu mengunjungi tetangga yang merayakan Imlek. Apa yang saya
lakukan dalam rangka menjaga hubungan baik sesama manusia (Hablum
Minannas), dan hal tersebut bagian kecil dari upaya menjaga kerukunan
antarumat beragama maupun antaretnis.
Seperti kita ketahui, bahwa Presiden RI sudah mencanangkan tanggal 3 Januari sebagai Hari Kerukunan Nasional (HKN), yang bertepatan dengan HAB
Kemenag. Sebagai pegawai Kemenag, saya merasa memiliki tanggung jawab
moral untuk mengawal semangat kerukunan tersebut. Lebih dari itu, setiap
diri kita memang wajib menjaga kerukunan tanpa ada embel-embel apapun.
Menjaga
kerukunan harus murni dari dalam diri kita. Dari situlah akan terpancar
keharmonisan yang melintas batas agama, etnis, golongan, bangsa, maupun
negara. Kerukunan merupakan hal yang universal. Siapapun manusia yang
tinggal di muka bumi, pasti menginginkan kerukunan. Untuk itu, suasana
Pontianak, suasana Kalbar, suasana Indonesia yang sudah rukun, hendaknya
semakin ditingkatkan kerukunannya. Upaya nyata untuk meningkatkan
kerukunan itu, harus dimulai dari diri sendiri, barulah keluarga,
masyarakat, dan seterusnya.
Semoga
tulisan ini bisa memotivasi dan menginspirasi kita untuk terus
meningkatkan semangat kerukunan beragama. Selamat Tahun Baru Imlek 2565
untuk seluruh saudaraku etnis Tionghoa yang ada di Kalbar. Gong Xi Fat
Chai.*(Sumiati/Ptk. Pelaksana Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak)
Langganan:
Postingan (Atom)