Sebentar lagi saudara kita
dari etnis Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek 2565 yang jatuh pada
tanggal 31 Januari 2014. Sama seperti umat Islam ketika menyambut
Idulfitri, penuh suka dan kemeriahan. Mereka berbelanja membeli baju
baru, aneka kue, dan menghiasai rumah dengan berbagai pernak-pernik
imlek. Pasar menjadi ramai menjelang hari raya Imlek tersebut.
Secara
tidak langsung, saya bisa merasakan bagaimana senangnya saudara kita
dari etnis Tionghoa menyambut hari paling dinantikan itu. Sebelum tahun
2001, perayaan Imlek apalagi Cap Go Meh dilarang berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 14 tahun 1967. Pada waktu itu presidennya Soeharto. Oleh
presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, instruksi itu dicabut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2001.
Kemudian,
pada 9 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan Imlek sebagai
hari libur fakultatif (hanya bagi mereka yang merayakannya). Barulah
pada masa Presiden Megawati Soekarno Poetri meresmikan Imlek sebagai
Hari Besar Nasional pada 9
April 2002. Seluruh etnis Tionghoa menyambut gembira penetapan hari
tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana senangnya mereka.
Maklum
saja, sebelum Imlek ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional, sudah
menjadi rahasia umum kalau mereka banyak mengalami diskriminasi. Nama
mereka saja tidak boleh berbau etnis Tionghoa, melainkan harus
Indonesia. Sekarang, diskriminasi itu tidak ada lagi. Etnis Tionghoa
duduk sejajar bersama etnis lain yang ada di Indonesia.
Mereka
pun bebas mengekspresikan diri dalam merayakan Imlek yang nantinya
disusul dengan perayaan Cap Go Meh. Mereka bagian dari Indonesia,
sama-sama membangun negeri tercinta ini.
Saya jadi teringat, pada saat penetapan Imlek tersebut, saya ikut suami
bertugas di Kota Ngabang Kabupaten Landak. Waktu itu saya belum menjadi
pegawai Kementerian Agama. Saya bekerja di sebuah kantor swasta di kota
intan itu.
Di Kota Ngabang sendiri, etnis Tionghoa memang menguasai perdagangan (ekonomi). Hampir seluruh rumah toko (ruko) milik etnis Tionghoa. Mereka berdagang sembako, pakaian, elektronik,
makanan dan minuman, bahkan sayur-sayuran. Dominasi etnis Tionghoa di
pasar Ngabang sangat terasa. Saya yakin, bukan hanya di Ngabang, di
kota-kota besar yang ada di Kalbar juga demikian. Tibalah perayaan
Imlek. Bisa dikatakan, begitu presiden menetapkan Imlek sebagai Hari
Besar Nasional, saat itu juga saya menyaksikan bagaimana kegembiraan
saudara kita dari etnis Tionghoa di Ngabang. Imlek perdana bagi saya.
Mereka
larut dalam kegembiraan. Rumah dihiasi pernak-pernik Imlek. Lampu
lampion bersinar di malam hari. Barongsai meliuk-liuk di pasar. Begitu
juga naga (liong) menggeliat di pasar-pasar. Belum lagi petasan menambah
semaraknya Imlek. Tiba-tiba saya diajak suami untuk silaturrahmi atau
mengunjungi relasinya yang kebetulan banyak Tionghoa. Awalnya saya agak
ragu. Maklum saja, dari kecil saya dibesarkan di lingkungan etnis
Melayu. Saat sekolah dan kuliah hidup dalam komunitas Islam.
Kemeriahan
yang saya rasakan sebatas Idulfitri dan Iduladha. Sementara perayaan
Imlek maupun Natal hanya mendengar, namun tidak pernah bersilaturahmi
dengan penganut agama lain saat perayaan hari besar agama mereka.
Keraguan itu muncul terkait makanan yang dihidangkan. Agama saya
mengajarkan tidak boleh memakan sesuatu yang diragukan kehalalannya. Di
situlah masalahnya. Namun, suami saya terus membujuk. “Ayo kita main ke rumah Pak Akiang dan Pak Budi Santoso. Orangnya baik dan ramah,” ajak suami.
Pak
Akiang dan Budi Santoso merupakan tokoh Tionghoa di Ngabang. Saya
berusaha membuang keraguan itu. Lalu, kamipun bersilaturahmi ke rumah
tokoh Tionghoa tersebut. Subhanallah, kami disambut hangat dan ramah
oleh tuan rumah. Saya merasakan sebuah keharmonisan luar biasa.
Keakraban sebagai sesama bangsa Indonesia kian terasa. Kami dipersilakan
duduk dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Saya perhatikan,
hidangan makanan, kue, dan minuman persis seperti halnya orang Islam
merayakan Idulfitri.
Ada kue lapis,
kue kering, minuman ringan, dan sebagainya. Bedanya, ada kue
keranjangnya. Aneka makanan itu tinggal pilih sesuai selera. Saya tahu
makanan-makanan itu banyak dijual di pasar. Melihat itu semua, saya
berpikir, keraguaan soal tidak halal, jadi hilang. Dengan
bismillahirrahmanirrahim, minuman kaleng, kue kering dalam stoples saya
cicipi. Saya dan suamipun beserta shohibulbait terlibat dalam percakapan
yang akrab. Semenjak itu, ketika Imlek datang, secara tidak langsung
saya juga ikut merasakan kegembiraan.
Demikian
juga kalau Natal, saya juga bersilaturrahmi dengan kawan-kawan nasrani.
Sangat indah tinggal di Ngabang ketika itu. Suasana keharmonisan
antaretnis, antarumat beragama kian terasa. Damai itu memang indah.
Ngabang memang penuh dengan kenangan indah. Setiap ada perayaan
keagamaan, semua umat beragama yang ada di Ngabang memiliki semangat
toleransi dan kerukunan yang tinggi.
Ketika
Idulfitri tiba, umat dari Nasrani maupun konghucu akan mengunjungi.
Begitu sebaliknya, ketika Imlek, orang Islam maupun Nasrani akan
mengunjungi teman-temannya yang merayakan Imlek. Ketika Natal tiba,
teman-teman Muslim maupun Konghucu akan bersilaturahmi ke rumah yang
merayakan natal. Tidak ada keraguaan apalagi kecurigaan. Semua dilakukan
dengan tulus, semata ingin menjaga keharmonisan dan kerukunan. Sebuah
fakta, yang ada baiknya untuk dicontoh. Sekarang, saya sudah pindah dari
Ngabang dan tinggal di Kota Pontianak.
Semangat
tolerasi dan menjaga kerukunan itu masih tertanam. Kebetulan perumahan
tempat kami tinggal didominasi etnis Tionghoa. Setiap Imlek saya dan
keluarga selalu mengunjungi tetangga yang merayakan Imlek. Apa yang saya
lakukan dalam rangka menjaga hubungan baik sesama manusia (Hablum
Minannas), dan hal tersebut bagian kecil dari upaya menjaga kerukunan
antarumat beragama maupun antaretnis.
Seperti kita ketahui, bahwa Presiden RI sudah mencanangkan tanggal 3 Januari sebagai Hari Kerukunan Nasional (HKN), yang bertepatan dengan HAB
Kemenag. Sebagai pegawai Kemenag, saya merasa memiliki tanggung jawab
moral untuk mengawal semangat kerukunan tersebut. Lebih dari itu, setiap
diri kita memang wajib menjaga kerukunan tanpa ada embel-embel apapun.
Menjaga
kerukunan harus murni dari dalam diri kita. Dari situlah akan terpancar
keharmonisan yang melintas batas agama, etnis, golongan, bangsa, maupun
negara. Kerukunan merupakan hal yang universal. Siapapun manusia yang
tinggal di muka bumi, pasti menginginkan kerukunan. Untuk itu, suasana
Pontianak, suasana Kalbar, suasana Indonesia yang sudah rukun, hendaknya
semakin ditingkatkan kerukunannya. Upaya nyata untuk meningkatkan
kerukunan itu, harus dimulai dari diri sendiri, barulah keluarga,
masyarakat, dan seterusnya.
Semoga
tulisan ini bisa memotivasi dan menginspirasi kita untuk terus
meningkatkan semangat kerukunan beragama. Selamat Tahun Baru Imlek 2565
untuk seluruh saudaraku etnis Tionghoa yang ada di Kalbar. Gong Xi Fat
Chai.*(Sumiati/Ptk. Pelaksana Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar