Selasa, 11 Februari 2014

Meningkatkan Semangat Kerukunan Melalui Perayaan Imlek



Sebentar lagi saudara kita dari etnis Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek 2565 yang jatuh pada tanggal 31 Januari 2014. Sama seperti umat Islam ketika menyambut Idulfitri, penuh suka dan kemeriahan. Mereka berbelanja membeli baju baru, aneka kue, dan menghiasai rumah dengan berbagai pernak-pernik imlek. Pasar menjadi ramai menjelang hari raya Imlek tersebut.
Secara tidak langsung, saya bisa merasakan bagaimana senangnya saudara kita dari etnis Tionghoa menyambut hari paling dinantikan itu. Sebelum tahun 2001, perayaan Imlek apalagi Cap Go Meh dilarang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967. Pada waktu itu presidennya Soeharto. Oleh presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, instruksi itu dicabut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2001.
Kemudian, pada 9 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya bagi mereka yang merayakannya). Barulah pada masa Presiden Megawati Soekarno Poetri meresmikan Imlek sebagai Hari Besar Nasional pada 9 April 2002. Seluruh etnis Tionghoa menyambut gembira penetapan hari tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana senangnya mereka.
Maklum saja, sebelum Imlek ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional, sudah menjadi rahasia umum kalau mereka banyak mengalami diskriminasi. Nama mereka saja tidak boleh berbau etnis Tionghoa, melainkan harus Indonesia. Sekarang, diskriminasi itu tidak ada lagi. Etnis Tionghoa duduk sejajar bersama etnis lain yang ada di Indonesia.
Mereka pun bebas mengekspresikan diri dalam merayakan Imlek yang nantinya disusul dengan perayaan Cap Go Meh. Mereka bagian dari Indonesia, sama-sama membangun negeri tercinta ini. Saya jadi teringat, pada saat penetapan Imlek tersebut, saya ikut suami bertugas di Kota Ngabang Kabupaten Landak. Waktu itu saya belum menjadi pegawai Kementerian Agama. Saya bekerja di sebuah kantor swasta di kota intan itu.
Di Kota Ngabang sendiri, etnis Tionghoa memang menguasai perdagangan (ekonomi). Hampir seluruh rumah toko (ruko) milik etnis Tionghoa. Mereka berdagang sembako, pakaian, elektronik, makanan dan minuman, bahkan sayur-sayuran. Dominasi etnis Tionghoa di pasar Ngabang sangat terasa. Saya yakin, bukan hanya di Ngabang, di kota-kota besar yang ada di Kalbar juga demikian. Tibalah perayaan Imlek. Bisa dikatakan, begitu presiden menetapkan Imlek sebagai Hari Besar Nasional, saat itu juga saya menyaksikan bagaimana kegembiraan saudara kita dari etnis Tionghoa di Ngabang. Imlek perdana bagi saya.
Mereka larut dalam kegembiraan. Rumah dihiasi pernak-pernik Imlek. Lampu lampion bersinar di malam hari. Barongsai meliuk-liuk di pasar. Begitu juga naga (liong) menggeliat di pasar-pasar. Belum lagi petasan menambah semaraknya Imlek. Tiba-tiba saya diajak suami untuk silaturrahmi atau mengunjungi relasinya yang kebetulan banyak Tionghoa. Awalnya saya agak ragu. Maklum saja, dari kecil saya dibesarkan di lingkungan etnis Melayu. Saat sekolah dan kuliah hidup dalam komunitas Islam.
Kemeriahan yang saya rasakan sebatas Idulfitri dan Iduladha. Sementara perayaan Imlek maupun Natal hanya mendengar, namun tidak pernah bersilaturahmi dengan penganut agama lain saat perayaan hari besar agama mereka. Keraguan itu muncul terkait makanan yang dihidangkan. Agama saya mengajarkan tidak boleh memakan sesuatu yang diragukan kehalalannya. Di situlah masalahnya. Namun, suami saya terus membujuk. “Ayo kita main ke rumah Pak Akiang dan Pak Budi Santoso. Orangnya baik dan ramah,” ajak suami.
Pak Akiang dan Budi Santoso merupakan tokoh Tionghoa di Ngabang. Saya berusaha membuang keraguan itu. Lalu, kamipun bersilaturahmi ke rumah tokoh Tionghoa tersebut. Subhanallah, kami disambut hangat dan ramah oleh tuan rumah. Saya merasakan sebuah keharmonisan luar biasa. Keakraban sebagai sesama bangsa Indonesia kian terasa. Kami dipersilakan duduk dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Saya perhatikan, hidangan makanan, kue, dan minuman persis seperti halnya orang Islam merayakan Idulfitri.
Ada kue lapis, kue kering, minuman ringan, dan sebagainya. Bedanya, ada kue keranjangnya. Aneka makanan itu tinggal pilih sesuai selera. Saya tahu makanan-makanan itu banyak dijual di pasar. Melihat itu semua, saya berpikir, keraguaan soal tidak halal, jadi hilang. Dengan bismillahirrahmanirrahim, minuman kaleng, kue kering dalam stoples saya cicipi. Saya dan suamipun beserta shohibulbait terlibat dalam percakapan yang akrab. Semenjak itu, ketika Imlek datang, secara tidak langsung saya juga ikut merasakan kegembiraan.
Demikian juga kalau Natal, saya juga bersilaturrahmi dengan kawan-kawan nasrani. Sangat indah tinggal di Ngabang ketika itu. Suasana keharmonisan antaretnis, antarumat beragama kian terasa. Damai itu memang indah. Ngabang memang penuh dengan kenangan indah. Setiap ada perayaan keagamaan, semua umat beragama yang ada di Ngabang memiliki semangat toleransi dan kerukunan yang tinggi.
Ketika Idulfitri tiba, umat dari Nasrani maupun konghucu akan mengunjungi. Begitu sebaliknya, ketika Imlek, orang Islam maupun Nasrani akan mengunjungi teman-temannya yang merayakan Imlek. Ketika Natal tiba, teman-teman Muslim maupun Konghucu akan bersilaturahmi ke rumah yang merayakan natal. Tidak ada keraguaan apalagi kecurigaan. Semua dilakukan dengan tulus, semata ingin menjaga keharmonisan dan kerukunan. Sebuah fakta, yang ada baiknya untuk dicontoh. Sekarang, saya sudah pindah dari Ngabang dan tinggal di Kota Pontianak.
Semangat tolerasi dan menjaga kerukunan itu masih tertanam. Kebetulan perumahan tempat kami tinggal didominasi etnis Tionghoa. Setiap Imlek saya dan keluarga selalu mengunjungi tetangga yang merayakan Imlek. Apa yang saya lakukan dalam rangka menjaga hubungan baik sesama manusia (Hablum Minannas), dan hal tersebut bagian kecil dari upaya menjaga kerukunan antarumat beragama maupun antaretnis.
Seperti kita ketahui, bahwa Presiden RI sudah mencanangkan tanggal 3 Januari sebagai Hari Kerukunan Nasional (HKN), yang bertepatan dengan HAB Kemenag. Sebagai pegawai Kemenag, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal semangat kerukunan tersebut. Lebih dari itu, setiap diri kita memang wajib menjaga kerukunan tanpa ada embel-embel apapun.
Menjaga kerukunan harus murni dari dalam diri kita. Dari situlah akan terpancar keharmonisan yang melintas batas agama, etnis, golongan, bangsa, maupun negara. Kerukunan merupakan hal yang universal. Siapapun manusia yang tinggal di muka bumi, pasti menginginkan kerukunan. Untuk itu, suasana Pontianak, suasana Kalbar, suasana Indonesia yang sudah rukun, hendaknya semakin ditingkatkan kerukunannya. Upaya nyata untuk meningkatkan kerukunan itu, harus dimulai dari diri sendiri, barulah keluarga, masyarakat, dan seterusnya.
Semoga tulisan ini bisa memotivasi dan menginspirasi kita untuk terus meningkatkan semangat kerukunan beragama. Selamat Tahun Baru Imlek 2565 untuk seluruh saudaraku etnis Tionghoa yang ada di Kalbar. Gong Xi Fat Chai.*(Sumiati/Ptk. Pelaksana Seksi PAI Kemenag Kota Pontianak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar