Selasa, 11 Februari 2014

Sebuah Cerita Imlek di Tahun Kuda



Sampai hari ini seluruh etnis Tionghoa masih dalam suasana merayakan Tahun Baru Imlek. Perayaan Imlek akan berakhir dengan digelarnya Cap Go Meh. Untuk saat ini, etnis yang memiliki hubungan emosional dengan Negara Cina itu masih dalam suasana bergembira. Di tengah suasana tersebut, saya memiliki pengalaman menarik yang bisa dibagi dengan para pembaca. Kebetulan saya tinggal di perumahaan yang mayoritas penghuninya etnis Tionghoa.
Pada saat Imlek, sebagai tetangga saya merasa tidak enak bila tidak melakukan silaturahmi dengan para tetangga. Karena saat Idulfitri, mereka pun datang ke rumah untuk memberikan ucapan selamat Idulfitri. Kali ini giliran mereka. Rasanya tidak etis bila tidak mengunjungi rumah tetangga yang sedang merayakan Imlek di tahun Kuda Kayu ini. Pada hari kedua Imlek, kebetulan kami ada waktu, saya dan suami mengunjungi tetangga terdekat. Namanya Afo. Setiap kali lewat dia selalu melambai agar saya dan suami mampir.
Begitu kami bertamu, bukan main senangnya Afo beserta seluruh keluarganya. Di atas meja tersedia aneka kue lapis, kue kering, dan minuman. Tak ketinggalan kue keranjang. Suasana akrab mewarnai setiap percakapan. Kami saling bercerita. Walau beda etnis dan agama, namun yang menonjol adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Tidak ada kecurigaan.
Semua larut dalam suasana harmonis dan penuh keakraban. Usai dari rumah Pak Afo, kami berkunjung ke rumah tetangga berikutnya. Namanya Khusen. Sayang, Pak Khusen tidak ada di rumah. Hanya ada istri dan dua anaknya. Begitu kami tiba, keluarga Khusen menyambut kami dengan penuh keakraban. Sama seperti di rumah Pak Afo, di rumah Pak Khusen juga tersedia aneka kue lapis, kue kering, minuman. Tinggal pilih sesuai selera. Kami dilayani istri Khusen dan anaknya bernama Akiang. Saya tertarik dengan cerita Akiang.
Ternyata, kami baru tahu bahwa tetangga itu seorang guru Bahasa Mandarin. Dia mengajar di sekolah swasta ternama di Kota Pontianak. Saya bertanya, apakah sama Bahasa Mandarin dengan bahasa yang biasa diucapkan etnis Tionghoa di Pontianak? “Jelas beda. Bahasa Mandarin ibaratnya bahasa nasional Cina. Sedangkan, bahasa yang kita ucapkan di Pontianak, ibaratnya bahasa daerah. Saya saja belajar Bahasa Mandarin harus sekolah di Cina,” jawab Akiang. Cerita sekolah ke Cina, menarik hati saya untuk bertanya lebih lanjut.
Sebab, ketika mendengar nama Cina, saya teringat dengan sebuah hadis nabi yang artinya, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Zaman Rasulullah saja, negeri Cina memang sudah terkenal. Kebetulan Akiang memang leluhurnya Cina dan pernah belajar di negeri tirai bambu itu. Momen yang pas untuk bertanya lebih dalam. Coba diceritakan bagaimana sampai bisa sekolah ke Cina? Akiang menceritakan, dia sekolah ke Cina karena dapat beasiswa. Kurang lebih setahun dia belajar Bahasa Mandarin di sana. “Selain dapat ilmu, bisa jalan-jalan, kita juga dapat uang. Itu asyiknya belajar di Cina.
Pemerintahnya justru ngasih kita uang. Setiap orang luar yang belajar ke Cina, mereka dikasih uang oleh pemerintah Cina. Sementara rakyatnya sendiri justru tak dikasih uang,”ceritanya. Apa perbedaan orang Cina di sana dengan kalian yang di Pontianak? Akiang menjawab, jujur orang Cina memang pekerja keras. Dari pagi sampai sore mereka bekerja. Mobilitas orang Cina di sana memang tinggi. Satu hal menarik, rata-rata seorang istri di sana bekerja di luar. Suami dan istri bekerja. Jarang ketemu istri yang seharian ngurusi rumah saja.
Mereka umumnya bekerja. “Satu kebiasaan yang sudah lazim, ketika suami dan istri bekerja di luar, siapa yang datang duluan di rumah, dialah yang menyiapkan makan dan membereskan rumah. Kalau istri datang duluan, dialah yang menyiapkan itu. Sebaliknya, ketika suami datang duluan, juga harus demikian,” papar Akiang. Bagaimana dengan tradisi berdagang di Cina? “Memang, pada umumnya orang Cina berdagang. Justru persaingan dagang di sana sangat tinggi. Ada pengalaman ketika saya ingin membeli baju.
Kalau kita di Pontianak, saat membeli baju, sering dicoba dulu. Bila tidak jadi membeli, pedagangnya tidak marah. Kalau di Cina, ketika kita sudah mencoba, itu harus dibeli. Saat saya mencoba beberapa baju, kebetulan tidak ada yang cocok, lalu saya kembalikan. Orang Cina itu bilang, kalau memang tidak membeli, jangan dicoba dulu,” lanjut cerita Akiang. Apakah ada hal yang tidak enak bila dibandingkan dengan di Pontianak? Hal paling tidak enak adalah soal makan.
Terus terang, makanan di Pontianak jauh lebih enak dari di Cina. Makanya, saat di Cina, yang bikin selalu rindu pulang, soal masakan Pontianak. “Mungkin faktor lidah kali ya. Selain soal makanan, soal kesopanan, orang kita jauh lebih sopan. Saat saya dari Cina tiba di Jakarta, langsung ke sebuah hotel. Ketika di hotel, saya ingin ke toilet. Di toilet saya ketemu OB yang selalu bilang, Silakan Pak! Dengan wajah penuh senyum. Sepuluh kali kita ketemu OB, sepuluh kali juga dia mempersilakan kita. Sementara di Cina, kita tidak menemukan hal demikian,” ungkap Akiang. Asyik mendengarkan cerita Akiang.
Sangat menarik. Bagi saya, cerita tersebut bagian dari pengalaman berharga ketika hidup dalam suasana Imlek. Satu yang patut diambil pelajaran, bertetangga tidak boleh memandang agama, suku, ataupun golongan. Etnis Tionghoa juga merasakan hal demikian. Agama merupakan keyakinan. Sementara tetangga adalah persoalan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Rukun dan damai itu indah.*(Sumiati/Ptk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar