Sampai hari ini
seluruh etnis Tionghoa masih dalam suasana merayakan Tahun Baru Imlek.
Perayaan Imlek akan berakhir dengan digelarnya Cap Go Meh. Untuk saat
ini, etnis yang memiliki hubungan emosional dengan Negara Cina itu masih
dalam suasana bergembira. Di tengah suasana tersebut, saya memiliki
pengalaman menarik yang bisa dibagi dengan para pembaca. Kebetulan saya
tinggal di perumahaan yang mayoritas penghuninya etnis Tionghoa.
Pada
saat Imlek, sebagai tetangga saya merasa tidak enak bila tidak
melakukan silaturahmi dengan para tetangga. Karena saat Idulfitri,
mereka pun datang ke rumah untuk memberikan ucapan selamat Idulfitri.
Kali ini giliran mereka. Rasanya tidak etis bila tidak mengunjungi rumah
tetangga yang sedang merayakan Imlek di tahun Kuda Kayu ini. Pada hari
kedua Imlek, kebetulan kami ada waktu, saya dan suami mengunjungi
tetangga terdekat. Namanya Afo. Setiap kali lewat dia selalu melambai
agar saya dan suami mampir.
Begitu kami bertamu, bukan main senangnya Afo beserta seluruh keluarganya. Di atas meja tersedia aneka kue lapis, kue kering,
dan minuman. Tak ketinggalan kue keranjang. Suasana akrab mewarnai
setiap percakapan. Kami saling bercerita. Walau beda etnis dan agama,
namun yang menonjol adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Tidak ada
kecurigaan.
Semua larut dalam suasana
harmonis dan penuh keakraban. Usai dari rumah Pak Afo, kami berkunjung
ke rumah tetangga berikutnya. Namanya Khusen. Sayang,
Pak Khusen tidak ada di rumah. Hanya ada istri dan dua anaknya. Begitu
kami tiba, keluarga Khusen menyambut kami dengan penuh keakraban. Sama
seperti di rumah Pak Afo, di rumah Pak Khusen juga tersedia aneka kue
lapis, kue kering, minuman. Tinggal pilih sesuai selera. Kami dilayani
istri Khusen dan anaknya bernama Akiang. Saya tertarik dengan cerita
Akiang.
Ternyata, kami baru tahu bahwa tetangga itu seorang guru Bahasa Mandarin.
Dia mengajar di sekolah swasta ternama di Kota Pontianak. Saya
bertanya, apakah sama Bahasa Mandarin dengan bahasa yang biasa diucapkan
etnis Tionghoa di Pontianak? “Jelas beda. Bahasa Mandarin ibaratnya
bahasa nasional Cina. Sedangkan, bahasa yang kita ucapkan di Pontianak,
ibaratnya bahasa daerah. Saya saja belajar Bahasa Mandarin harus sekolah
di Cina,” jawab Akiang. Cerita sekolah ke Cina, menarik hati saya untuk
bertanya lebih lanjut.
Sebab, ketika
mendengar nama Cina, saya teringat dengan sebuah hadis nabi yang
artinya, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Zaman Rasulullah
saja, negeri Cina memang sudah terkenal. Kebetulan Akiang memang
leluhurnya Cina dan pernah belajar di negeri tirai bambu itu. Momen yang pas untuk bertanya lebih dalam. Coba
diceritakan bagaimana sampai bisa sekolah ke Cina? Akiang menceritakan,
dia sekolah ke Cina karena dapat beasiswa. Kurang lebih setahun dia
belajar Bahasa Mandarin di sana. “Selain dapat ilmu, bisa jalan-jalan,
kita juga dapat uang. Itu asyiknya belajar di Cina.
Pemerintahnya justru ngasih kita uang. Setiap orang luar
yang belajar ke Cina, mereka dikasih uang oleh pemerintah Cina.
Sementara rakyatnya sendiri justru tak dikasih uang,”ceritanya. Apa
perbedaan orang Cina di sana dengan kalian yang di Pontianak? Akiang
menjawab, jujur orang Cina memang pekerja keras. Dari pagi sampai sore
mereka bekerja. Mobilitas orang Cina di sana memang tinggi. Satu hal
menarik, rata-rata seorang istri di sana bekerja di luar. Suami dan
istri bekerja. Jarang ketemu istri yang seharian ngurusi rumah saja.
Mereka
umumnya bekerja. “Satu kebiasaan yang sudah lazim, ketika suami dan
istri bekerja di luar, siapa yang datang duluan di rumah, dialah yang
menyiapkan makan dan membereskan rumah. Kalau istri datang duluan,
dialah yang menyiapkan itu. Sebaliknya, ketika suami datang duluan, juga
harus demikian,” papar Akiang. Bagaimana dengan tradisi berdagang di
Cina? “Memang, pada umumnya orang Cina berdagang. Justru persaingan
dagang di sana sangat tinggi. Ada pengalaman ketika saya ingin membeli
baju.
Kalau kita di Pontianak, saat
membeli baju, sering dicoba dulu. Bila tidak jadi membeli, pedagangnya
tidak marah. Kalau di Cina, ketika kita sudah mencoba, itu harus dibeli.
Saat saya mencoba beberapa baju, kebetulan tidak ada yang cocok, lalu
saya kembalikan. Orang Cina itu bilang, kalau memang tidak membeli,
jangan dicoba dulu,” lanjut cerita Akiang. Apakah ada hal yang tidak
enak bila dibandingkan dengan di Pontianak? Hal paling tidak enak adalah
soal makan.
Terus terang, makanan di
Pontianak jauh lebih enak dari di Cina. Makanya, saat di Cina, yang
bikin selalu rindu pulang, soal masakan Pontianak. “Mungkin faktor lidah
kali ya. Selain soal makanan, soal kesopanan, orang kita jauh lebih
sopan. Saat saya dari Cina tiba di Jakarta, langsung ke sebuah hotel.
Ketika di hotel, saya ingin ke toilet. Di toilet saya ketemu OB yang
selalu bilang, Silakan Pak! Dengan wajah penuh senyum. Sepuluh kali kita
ketemu OB, sepuluh kali juga dia mempersilakan kita. Sementara di Cina,
kita tidak menemukan hal demikian,” ungkap Akiang. Asyik mendengarkan
cerita Akiang.
Sangat menarik. Bagi
saya, cerita tersebut bagian dari pengalaman berharga ketika hidup dalam
suasana Imlek. Satu yang patut diambil pelajaran, bertetangga tidak
boleh memandang agama, suku, ataupun golongan. Etnis Tionghoa juga
merasakan hal demikian. Agama merupakan keyakinan. Sementara tetangga
adalah persoalan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Rukun dan
damai itu indah.*(Sumiati/Ptk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar