Oleh: Sumiati. J. S.Sos.I., M.Si*
Minggu, 28 Desember 2014, 22:51 – Artikel -http://kalbar.kemenag.go.id
Toleransi adalah ketika kita
mau mengakui dan menerima perbedaan. Ada orang yang berbeda dengan apa
yang kita yakini. Salah satu contoh menerima kenyataan bahwa ada saudara
kita yang memiliki keyakinan berbeda.
Untuk
masalah toleransi ini bukan lagi hal baru bagi saya. Meskipun dari
kecil saya bersekolah di madrasah, bahkan kuliah S1 pun di Perguruan
Tinggi Islam, namun tidak membuat saya fanatik dengan agama yang saya
anut.
Semangat toleransi saya terasah
ketika kuliah S1 ada mata kuliah perbandingan agama. Mata kuliah
tersebut benar-benar membuat saya belajar untuk memahami agama
saudara-saudara yang tidak seiman. Saya dan teman-teman harus
mewawancarai beberapa tokoh agama tertentu tentang ritual agama yang
mereka jalani.
Bahkan kami pun ikut
berkunjung di rumah ibadah tersebut untuk melihat lebih dekat aplikasi
pengamalan agama yang mereka jalankan.
Tidak hanya sekadar tahu, saya
dan teman-temanpun harus mempresentasikan apa yang kami dapat dan lihat
di lapangan tentang agama tertentu. Tentunya
di bawah bimbingan seorang dosen yang kompeten. Jika kami salah
memaknainya, maka langsung diluruskan oleh dosen pengampu mata kuliah
perbandingan agama. Sehingga tidak ada celah untuk keliru memahami agama
orang lain. Apa lagi memberikan
lebel “kurang baik” kepada agama lain.
Berdasarkan apa yang saya
pelajari tersebut, tidak ada satu agama pun yang membolehkan untuk
melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sama halnya dengan Agama Islam
yang saya yakini. Intinya semua agama
mengajarkan hal kebaikan dan melarang hal-hal yang keji dan mungkar.
Kembali pada semangat bertoleransi, tidak ada alasan bagi kita untuk
mencap jelek orang lain.
Sebagai manusia kita adalah makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa hidup
tanpa orang lain. Oleh karena itu,
semangat toleransi menjadi solusi terbaik untuk kita menjalani kehidupan
yang majemuk. Kita harus bisa menerima perbedaan. Mulai dari hal-hal
yang kecil sampai kepada kehidupan beragama. Agar kedamaian selalu
tersebar di muka bumi ini.
Jadi ingat
ketika saya dan suami bertugas di Kabupaten Landak, salah satu
kabupaten yang ada di Kalbar. Di kabupaten yang terkenal dengan julukan
Kota Intan ini Islam menjadi agama minoritas. Tapi kami tidak mengalami
masalah ataupun kendala dalam bermasyarakat maupun beragama. Karena
semangat toleransi yang kami miliki sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam diri kami.
Bagi kami, semua agama itu baik. Walaupun
saya tetap meyakini bahwa agama Islamlah paling baik. Saya yakin
saudara-saudara lainpun meyakini hal yang sama. Jadi, mengapa harus
dipermasalahkan. Saya lebih menganut konsep “berdamai dengan diri
sendiri”. Berusaha tidak menganggap diri paling benar, dan berusaha
untuk menerima perbedaan. Karena
sesungguhnya perbedaan itu sangat indah.
Lucunya lagi, selain merayakan
idul fitri dan idul adha sebagai hari raya umat Islam, kami pun terbiasa
ikut senang dan menghadiri perayaan beberapa hari raya keagamaan yang
dirayakan oleh saudara non muslim. Khususnya hari raya natal dan Imlek. Kedua
hari raya tersebut setiap tahun menjadi hal yang tidak pernah
terlewatkan bagi kami. Karena mayoritas teman-teman dan relasi suami ya
saudara non muslim. Saat itu, kami tinggal jauh dari saudara dan
keluarga. Bagi kami mereka adalah saudara dan keluarga kami yang selalu
ada untuk membantu di saat kesulitan.
Menghadiri open house natal maupun
Imlek hampir setiap tahun tidak pernah kami lewatkan. Biasanya
kalau natalan, saya selalu diajak suami untuk open house di rumah
Bupati Landak juga pejabat-pejabat lainnya. Dilanjutkan ke rumah
teman-teman yang lain. Kalau pas Imlek, biasanya kita berkunjung ke
rumah saudara yang Tionghoa. Bahkan kami biasanya sampai ke Kabupaten
Sanggau untuk menghadiri open house di rumah Bupati Sanggau yang
kebetulan teman suami sejak masih bertugas di Pontianak.
Kebiasaan
tersebut sampai sekarang pun masih kami jalani. Seperti saat ini,
berkunjung ke rumah teman-teman kantor dan relasi suami yang merayakan
natal sudah menjadi agenda rutin kami. Menghadiri open house di rumah
Gubernur Kalbar di saat natal, maupun open house di rumah Wakil Gubernur
Kalbar di saat Imlek itu juga hal yang biasa bagi kami.
Bahkan
ketika tahun 2011, tanpa sengaja kami pindah dan tinggal di komplek
yang mayoritas non muslim. Karena sudah terbiasa, kami pun tidak
mengalami kesulitan. Sampai hari ini, saya dan suami merasa enjoy saja
melewati hari-hari kami. Justru kami semakin lebih dewasa menghadapi
perbedaan yang ada. Kami merasa harus lebih bijak menghadapi perbedaan
agar kedamaian dan ketentraman tercipta dengan indah. Sesungguhnya
perbedaan itu akan menjadi indah kalau saja kita mau menerima perbedaan
itu dengan lapang dada.*(Sumiati/Pelaksana Seksi Pendidikan Agama Islam
Kantor Kemenag Kota Pontianak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar