Sabtu, 20 Juni 2015, 13:55 – http://kalbar.kemenag.go.id
Semestinya Puasa Mengubah Manusia Menjadi Lebih Baik
Banyak orang Islam
melaksanakan Puasa Ramadhan. Termasuk Saya juga anda. Mungkin sudah ada
yang belasan bahkan puluhan tahun melakukan puasa. Namun, pernahkan kita
berpikir, apakah puasa itu memberikan pengaruh atau tidak bagi
perubahan prilaku? Atau mungkin tidak sama sekali. Puasa
hanyalah ritual tahunan dan sekadar menggugurkan kewajiban tanpa
memberikan pengaruh luas kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pertanyaan ini muncul saat saya bersama suami berdialog kecil
sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba. Sebagai sesama alumni Jurusan Dakwah IAIN Pontianak (dulu, STAIN),
kami terbiasa bertukar pikiran seputar persoalan yang terjadi di
masyarakat. Dengan mengkaji dalil-dalil yang terkait dengan persoalan
yang sedang dibicarakan. Dalil yang
kami angkat kali ini ayat Alquran yang sangat populer.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Q.S.
Al-Baqarah : 183)
Kami sepakat,
berdasarkan ayat tersebut, tujuan akhir puasa adalah menjadi manusia
takwa. Mengutip tulisan dari Drs. H. Jawani yang berjudul Ramadhan
Melahirkan Manusia Taqwa, di website Kemenag Kalbar (18/6/2015), mengapa
takwa yang menjadi tujuan akhir? Jawabannya sederhana, karena takwa
adalah akumulasi dari kebaikan, etika, moral, spiritual, dan keseluruhan
upaya menuju kebaikan yang menyeluruh, baik yang bersifat individual,
sosial, maupun universal.
Dalam
tulisan ini, kiranya saya tidak perlu lagi menguraikan apa itu takwa.
Akan tetapi saya coba menuliskan kembali apa yang saya dan suami
dialogkan.
“Pernahkah mama berpikir dan bertanya kepada orang-orang,
seperti apa wujud nyata orang yang bertakwa?” tanya suami kepada saya.
Kemudian
Suami melanjutkan, “Tunjuk saja siapa orang yang menurut mama atau
orang kebanyakan itu orang bertakwa? Apakah Presiden kita, Jokowi orang
bertakwa? Atau Menteri Agama Republik Indonesia, Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Pengasuh Pondok Pesantren,
para kiyai, habaib, atau ustaz – ustazah yang wara-wiri di televisi.
Atau para hafiz-hafizah yang hafal Alquran. Atau apakah mama sendiri
masuk kategori orang bertakwa?” tanya suami dengan nada bercanda.
“Kalau
pertanyaan tersebut ditanyakan kepada banyak orang, pastilah jawabannya
akan beragam,” jawab saya singkat. Namun dalam hati saya setuju dengan
apa yang dipertanyakan suami tersebut.
Kemudian saya berkata kepada
suami, “Seandainya, seluruh orang Islam yang melaksanakan puasa bisa
mencapai derajat takwa, sudah dari dulu Indonesia atau negara yang kita
cintai ini aman, makmur, damai, dan sejahtera. Kenyataannya
sampai hari ini, Indonesia masih jauh dari harapan seperti yang
diperjuangkan oleh the founding father (pendiri negara) kita,” argumen
saya kepada suami.
“Iya, papa setuju dengan apa yang mama katakan,”
dukung suami terhadap argumen yang saya sampaikan.
Kemudian
suami kembali mempertegas dukungannya dengan mengatakan, hari ini
dekadensi moral semakin parah. Tingkat kriminalitas semakin meningkat.
Narkoba merajalela. Korupsi sudah menjadi budaya. Anak-anak semakin
tidak menghiraukan perkataan orang tuanya.
“Inilah kenyataan negeriku,
negerimu, dan negeri kita hari ini,” kata suami dengan jargon khasnya
sambil tersenyum.
“Lantas, apakah ada
pengaruhnya puasa itu kalau kita kaitkan dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” tanya suami kembali.
Secara
pribadi saya menjawab, puasa yang dilakukan dengan menahan lapar dan
haus selama sebulan itu, belum memberikan pengaruh yang signifikan. Terkesan
hanya ritual saja atau sekadar menggugurkan kewajiban.
Para pembaca
boleh setuju atau tidak dengan jawaban saya ini. Saya hanya menjawab
berdasarkan fakta atau kenyataan hari ini.
Kemudian, saya balik bertanya
kepada suami, “Lalu, di mana letak masalahnya?.” Suami juga tidak bisa
menjawab secara tepat, di mana letak masalahnya dengan umat Islam yang
rata-rata berpuasa itu. Tapi, dia mencoba untuk memberikan jawaban.
Menurut
suami, mungkin niat berpuasanya, kebanyakan tidak tulus atau tidak
ikhlas karena Allah. Melakukan puasa hanya merasa tidak enak saja karena
berada di lingkungan orang berpuasa. Ketika berpuasa karena merasa
tidak enak, puasa menjadi ritual saja tanpa memberikan pengaruh apapun.
Memang
ia menahan lapar dan haus, tarawih, dan baca Alquran setiap waktu,
namun sebenarnya pengaruh pada pembentukan pribadi takwa, tidak ada.
Begitu habis puasa, prilaku suka korupsi, suka merendahkan orang lain,
suka memfitnah, suka mencari masalah, dengan mudah dilakukan.
Suami
melanjutkan jawabannya, coba ukur diri kita sendiri pasca puasa nanti. Apakah
ada perubahan pada prilaku ke arah lebih baik? Misalnya dulu sangat
suka menjelekkan orang, tiba-tiba menjadi tidak mau lagi. Dulu begitu
mudahnya mengambil hak orang lain, menjadi tidak mau lagi. Dulu, begitu
mudahnya memfitnah, berubah menjadi orang amanah. Dulu, begitu mudahnya
marah bila disinggung orang, menjadi orang penyabar. Dulu, begitu
susahnya melaksanakan salat, berubah menjadi orang taat salat. Dulu,
begitu susahnya bergaul dengan masyarakat, lalu berubah menjadi orang
sosial. Dulu, pelit untuk sedekah, menjadi orang yang dermawan.
“Bila
ada perubahan prilaku ke arah lebih baik, itu tandanya puasa memberikan
pengaruh positif. Sebaliknya, jika puasa tidak memberikan efek apapun
pada perubahan sikap maupun prilaku, sudah pasti puasanya hanya menahan
lapar dan haus saja,” tegas suami.
“Mantap
jawaban papa. Semoga jawaban itu mencerminkan sebagai suami yang
takwa,” puji saya kepada suami sambil mengacungkan dua jempol.
Dialog
kami pun terhenti, karena terdengar suara Azan Maghrib. Kami pun berbuka
dengan kurma dan minuman manis. Dilanjutkan
menyantap hidangan Favorit saya dan suami, Nila Goreng (hehehe…).
Harapan saya, seluruh pegawai Kemenag bisa menjalankan puasa sesuai
amanat Alquran. Pasca puasa nanti, tidak ada lagi ditemukan
penyelewengan anggaran, tidak ada pegawai malas, tidak ada pegawai
melakukan perbuatan amoral, tidak ada pegawai yang tidak disiplin, dan
hal-hal tidak terpuji lainnya. Semua bisa bekerja untuk mewujudkan lima
nilai budaya kerja Kemenag, yakni integritas, profesionalitas, inovasi,
tanggung jawab dan keteladanan.
Akhirnya,
selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1436 Hijriyah. Semoga ibadah
puasa yang kita lakukan tahun ini diterima Allah SWT dan menjadikan kita manusia baru yang berhak menyandang predikat takwa. Aamiin.*(Sumiati/Pelaksana Seksi PAI Kantor Kemenag Kota Pontianak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar