Oleh : Sumiati. J, S.Sos.I., M.Si*
Sebagai
PNS saya terbiasa mengakses berbagai informasi melalui media online. Ada satu
hal yang cukup menarik bagi saya saat membaca berita terkait peringatan Hari
Ulang Tahun (HUT) Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ke-43, pada 1
Desember 2014 yang lalu. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada saat apel resmi
yang dilaksanakan di Lapangan Monas Jakarta mendorong pegawai negeri sipil segera melakukan
revolusi mental guna memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait hal
tersebut, Jokowi meminta agar PNS meninggalkan mental priyayi. Awalnya saya
bertanya-tanya dalam hati, kata priyayi ini, apaan sih? Menurut pemenang
Pilpres 2014 itu priyayi adalah sikap mementingkan diri sendiri dan merasa diri
sendiri lebih patut dilayani dibanding
orang lain (penguasa). Apakah saya dan PNS yang lain memang bermental priyayi
selama ini. Apakah saya selama ini kerjaannya minta dilayani?
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata melayani berasal dari kata dasar layan, artinya
membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan seseorang. Orang yang
melayani disebut pelayan. Berarti orang yang dilayani adalah priyayi. Kira-kira
demikian pemahaman sederhana saya soal pelayan dan priyayi.
Mungkin
sebagai wujud nyatanya, kalau ada masyarakat datang ke kantor, saya harus
melayani apa yang dibutuhkannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” mungkin itu
ungkapan pertama bila berhadapan dengan masyarakat yang mau berurusan di
kantor. “Silahkan duduk, Pak. Apakah ada hal yang ingin Bapak tanyakan?” bisa
juga ungkapan demikian. Tentunya dengan wajah ramah dan penuh senyum.
Seandainya
saya balik, taruhlah saya priyayi, lalu datang masyarakat ke kantor. “Sini,
Pak! Tolong belikan saya kertas satu rim ke pasar. Cepat ya, Pak!” kira-kira
demikian kalau sang priyayi minta dilayani. Atau “Ke sini, Pak! Kebetulan bapak
datang ke kantor, buatkan saya dan atasan saya segelas teh, ya!” perintah sang
priyayi. Hehehe...
Seingat
saya, sejak tahun 2003 lalu, saat mengawali karier sebagai PNS, sudah didoktrin
untuk melayani masyarakat. Bahkan, kata abdi negara sebagai nama lain PNS harus
ditanamkan seutuhnya. Sampai sekarang, mental melayani memang menjadi kehidupan
kerja setiap PNS. Apakah memang ada PNS bermental priyayi itu sampai presiden
harus men-stressing-nya dalam HUT
Korpri? Saya coba cari tahu dari berbagai berita lainnya.
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan RB), Yuddy
Chrisnandi menjelaskan contoh mental priyayi. Rupanya, yang dikatakan priyayi,
kegiatan yang suka mengedepankan simbolik. Yudy meminta seluruh PNS
menghilangkan hal-hal berbau simbolik, seperti penekanan sirene, pelepasan
balon, penyerahan pataka, atau gunting pita. “Oh, itu yang dinamakan priyayi,”
dalam hati saya sih. Kalau cuma itu sih, saya setuju. Atur saja Pak Menteri. Hehehe...
Menariknya
lagi, menghilangkan acara berbau simbolik merupakan bentuk nyata dari Gerakan
Nasional Revolusi Mental. Sangat sederhana rupanya. Kirain seperti ada pegawai
yang malas kerja, mentalnya direvolusi menjadi rajin. Ada pegawai yang
terlambat masuk kantor, mentalnya direvolusi menjadi datang tepat waktu. Ada
pegawai yang suka rapat di Hotel menjadi suka rapat di aula kantor atau musholla.
Bisa
saya tarik kesimpulan, seluruh PNS diminta untuk bersikap melayani dan mengabdi dengan sepenuh hati. Sebagai PNS yang
memang bertugas melayani bahkan ditambah lagi “Ikhlas Beramal” sebuah
kewajiban. PNS memang harus selalu siap mengikuti segala aturan maupun gerakan
yang dicanangkan pemerintah. Saya yakin, Presiden RI maupun MenPAN dan RB menginginkan
seluruh PNS memberikan yang terbaik untuk masyarakat.
PNS
atau Aparatur Sipil Negara merupakan ujung tombak atau garda terdepan
pemerintah dalam mengimplementasikan seluruh program pembangunan. Apa jadinya
kalau pemerintah tanpa PNS, pastilah semua program tidak bisa dijalankan. Kalau
program tidak bisa dijalankan, berarti tidak ada pembangunan. Tidak ada
pembangunan berarti tidak ada kemajuan. Tidak ada kemajuan berarti tidak ada
kemakmuran maupun kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat. Itulah fitrah PNS,
pelayan masyarakat, bukan priyayi.
*Pelaksana Seksi PAI Kantor Kemenag Kota
Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar