Kamis, 11 Desember 2014

ARTIKEL : PNS BERMENTAL PRIYAYI



Oleh : Sumiati. J, S.Sos.I., M.Si*






Sebagai PNS saya terbiasa mengakses berbagai informasi melalui media online. Ada satu hal yang cukup menarik bagi saya saat membaca berita terkait peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ke-43, pada 1 Desember 2014 yang lalu. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada saat apel resmi yang dilaksanakan di Lapangan Monas Jakarta mendorong pegawai negeri sipil segera melakukan revolusi mental guna memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terkait hal tersebut, Jokowi meminta agar PNS meninggalkan mental priyayi. Awalnya saya bertanya-tanya dalam hati, kata priyayi ini, apaan sih? Menurut pemenang Pilpres 2014 itu priyayi adalah sikap mementingkan diri sendiri dan merasa diri sendiri  lebih patut dilayani dibanding orang lain (penguasa). Apakah saya dan PNS yang lain memang bermental priyayi selama ini. Apakah saya selama ini kerjaannya minta dilayani?

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata melayani berasal dari kata dasar layan, artinya membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan seseorang. Orang yang melayani disebut pelayan. Berarti orang yang dilayani adalah priyayi. Kira-kira demikian pemahaman sederhana saya soal pelayan dan priyayi.

Mungkin sebagai wujud nyatanya, kalau ada masyarakat datang ke kantor, saya harus melayani apa yang dibutuhkannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” mungkin itu ungkapan pertama bila berhadapan dengan masyarakat yang mau berurusan di kantor. “Silahkan duduk, Pak. Apakah ada hal yang ingin Bapak tanyakan?” bisa juga ungkapan demikian. Tentunya dengan wajah ramah dan penuh senyum.

Seandainya saya balik, taruhlah saya priyayi, lalu datang masyarakat ke kantor. “Sini, Pak! Tolong belikan saya kertas satu rim ke pasar. Cepat ya, Pak!” kira-kira demikian kalau sang priyayi minta dilayani. Atau “Ke sini, Pak! Kebetulan bapak datang ke kantor, buatkan saya dan atasan saya segelas teh, ya!” perintah sang priyayi. Hehehe...

Seingat saya, sejak tahun 2003 lalu, saat mengawali karier sebagai PNS, sudah didoktrin untuk melayani masyarakat. Bahkan, kata abdi negara sebagai nama lain PNS harus ditanamkan seutuhnya. Sampai sekarang, mental melayani memang menjadi kehidupan kerja setiap PNS. Apakah memang ada PNS bermental priyayi itu sampai presiden harus men-stressing-nya dalam HUT Korpri? Saya coba cari tahu dari berbagai berita lainnya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan RB), Yuddy Chrisnandi menjelaskan contoh mental priyayi. Rupanya, yang dikatakan priyayi, kegiatan yang suka mengedepankan simbolik. Yudy meminta seluruh PNS menghilangkan hal-hal berbau simbolik, seperti penekanan sirene, pelepasan balon, penyerahan pataka, atau gunting pita. “Oh, itu yang dinamakan priyayi,” dalam hati saya sih. Kalau cuma itu sih, saya setuju. Atur saja Pak Menteri. Hehehe...

Menariknya lagi, menghilangkan acara berbau simbolik merupakan bentuk nyata dari Gerakan Nasional Revolusi Mental. Sangat sederhana rupanya. Kirain seperti ada pegawai yang malas kerja, mentalnya direvolusi menjadi rajin. Ada pegawai yang terlambat masuk kantor, mentalnya direvolusi menjadi datang tepat waktu. Ada pegawai yang suka rapat di Hotel menjadi suka rapat di aula kantor atau musholla.

Bisa saya tarik kesimpulan, seluruh PNS diminta untuk bersikap melayani dan mengabdi dengan sepenuh hati. Sebagai PNS yang memang bertugas melayani bahkan ditambah lagi “Ikhlas Beramal” sebuah kewajiban. PNS memang harus selalu siap mengikuti segala aturan maupun gerakan yang dicanangkan pemerintah. Saya yakin, Presiden RI maupun MenPAN dan RB menginginkan seluruh PNS memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

PNS atau Aparatur Sipil Negara merupakan ujung tombak atau garda terdepan pemerintah dalam mengimplementasikan seluruh program pembangunan. Apa jadinya kalau pemerintah tanpa PNS, pastilah semua program tidak bisa dijalankan. Kalau program tidak bisa dijalankan, berarti tidak ada pembangunan. Tidak ada pembangunan berarti tidak ada kemajuan. Tidak ada kemajuan berarti tidak ada kemakmuran maupun kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat. Itulah fitrah PNS, pelayan masyarakat, bukan priyayi.

*Pelaksana Seksi PAI Kantor Kemenag Kota Pontianak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar